Opini  

Sekolah Rakyat: Kebanggaan yang Justru Menyimpan Luka Kemiskinan

lampungkita.id Pendidikan adalah hak dasar setiap anak bangsa. Undang-Undang Dasar 1945 sudah menegaskannya. Pemerintah berkali-kali menegaskan komitmen bahwa tak boleh ada satu pun anak Indonesia yang tertinggal dalam hal pendidikan. Namun, realitas di lapangan sering berbicara lain. Munculnya Sekolah Rakyat di sejumlah daerah adalah bukti nyata bahwa sistem pendidikan formal kita masih gagal menjangkau mereka yang berada di lapisan paling rentan.

Sekolah Rakyat memang lahir dari semangat mulia. Ia hadir sebagai wadah bagi anak-anak dari keluarga miskin, yang sering kali tak mampu mengakses sekolah reguler karena alasan biaya, jarak, atau keterbatasan administrasi. Narasinya terdengar indah: menyelamatkan generasi yang hampir putus sekolah. Tetapi di balik kisah itu, terdapat paradoks besar yang harus kita hadapi dengan jujur.

Indikator Kemiskinan yang Nyata

Jumlah siswa di Sekolah Rakyat sejatinya bisa dibaca sebagai cermin sosial-ekonomi masyarakat. Semakin banyak anak yang masuk, semakin jelas bahwa kemiskinan masih mencengkeram. Semakin sedikit siswanya, itu bisa menjadi pertanda bahwa kesejahteraan warga perlahan meningkat.

Namun, banyak pihak justru keliru memaknainya. Jumlah siswa yang banyak sering dianggap sebuah kebanggaan. Kepala daerah merasa sukses, pejabat berfoto bersama, dan masyarakat disuguhi narasi heroik: “Lihat, ada 75 siswa lolos seleksi Sekolah Rakyat!”

Tapi, benarkah itu prestasi? Atau justru alarm keras bahwa pembangunan ekonomi belum berhasil menyejahterakan warganya? Apakah kita harus bangga jika ratusan anak dari satu kabupaten harus bergantung pada sekolah alternatif karena orang tua mereka tidak mampu?

Normalisasi Kemiskinan

Yang lebih berbahaya dari kemiskinan adalah ketika ia dinormalisasi. Keberadaan Sekolah Rakyat terus dipromosikan sebagai simbol kebanggaan, padahal sejatinya itu adalah bukti masih banyak anak miskin yang tersisih dari jalur reguler.

Sekolah Rakyat seharusnya menjadi solusi darurat, bukan panggung pencitraan. Ia harus dipandang sebagai langkah sementara, sambil negara memperkuat fondasi agar setiap anak bisa mengakses sekolah formal tanpa kendala. Jika Sekolah Rakyat justru dijadikan ajang bermegah diri, ada yang salah dalam cara kita melihat kemiskinan.

Paradoks Kebijakan

Kebijakan pendidikan sering kali terjebak dalam logika terbalik. Pemerintah bangga karena banyak siswa miskin bisa ditampung. Masyarakat diajak tersentuh oleh kisah haru anak-anak yang berjuang demi pendidikan. Padahal, kisah-kisah itu mestinya membuat kita geram, bukan terharu.

Mengapa di tengah program besar “Wajib Belajar 12 Tahun” yang dielu-elukan, masih ada anak-anak yang harus bergantung pada sekolah alternatif? Mengapa pejabat hadir hanya di acara seremonial, tetapi jarang melakukan refleksi mendalam atas akar persoalan ini?

Bangga yang Keliru

Mari kita jujur: bangga pada Sekolah Rakyat karena banyak siswa sama dengan bangga pada kemiskinan. Itu bukan prestasi, melainkan rapor merah pembangunan. Kebanggaan sejati seharusnya lahir ketika jumlah siswa Sekolah Rakyat semakin menurun, bahkan habis sama sekali, karena seluruh anak sudah tertampung di sekolah reguler dengan fasilitas yang layak.

Guru-guru dan relawan Sekolah Rakyat layak diberi apresiasi setinggi-tingginya. Mereka bekerja dengan hati, sering kali tanpa bayaran sepadan. Namun, pemerintah tidak boleh bersembunyi di balik kerja keras mereka. Negara tidak boleh berbangga diri dengan kemiskinan yang ditopengkan melalui narasi heroik.

Penutup: Dari Simbol ke Solusi

Sekolah Rakyat seharusnya dipandang sebagai simbol masalah, bukan simbol prestasi. Keberadaannya adalah pengingat bahwa masih banyak keluarga miskin yang belum mampu menjangkau pendidikan formal.

Pemerintah harus menjadikannya tolak ukur kebijakan, bukan sekadar bahan pidato. Kita boleh bangga pada semangat anak-anak yang belajar dalam keterbatasan. Kita boleh salut pada guru-guru yang rela berkorban. Tetapi kita tidak boleh bangga pada kemiskinan yang membuat sekolah ini penuh murid.

Karena pendidikan bukan soal charity, melainkan hak dasar yang wajib dijamin negara. Dan bangsa ini baru benar-benar bisa berbangga jika Sekolah Rakyat tidak lagi dibutuhkan.

Ditulis oleh : Nanang Wiwit Sinudarsono, S.Pd., Gr