Pada hakekatnya manusia tidak akan pernah bisa berlaku adil sepenuhnya; Ini adalah suatu kekurangan, kelemahan manusia yang membuat ia hanya bisa mencintai satu orang alih-alih mencinta beberapa atau banyak orang dengan kualitas (kadar) cinta yang sama. Manusia hanya bisa berusaha adil tapi sebenarnya–pada hakekatnya–manusia tidak sebenar-benarnya bisa adil, tidak akan mampu demikian.
Manusia yang mengaku bahwa dia bisa mencintai banyak orang dengan kadar yang sama–mengklaim bahwa “aku adil”–itu manusia yang mengaku bahwa dia Tuhan karena hanya Tuhan saja yang mampu berlaku adil. Manusia tidak pernah akan bisa adil. Problem yang muncul di sini adalah: ukuran (nilai-kebenaran, ?????-?????) bahwasanya saya adil atau tidak adil bukan–atau dengan kata lain, tidak bisa–berasal dari diri saya sendiri. Tidak ada seorangpun bisa mengatakan bahwa dirinya adil, bahkan seorang nabi sekalipun. Persoalan kedua: keadilan berkenaan erat dengan perkara kualitas atau kadar, bukan kuantitas.
Banyak bencana kemanusiaan berasal dari kesombongan diri manusia merasa bahwa dirinya bisa lebih adil dari manusia lain; Apalagi kalau merasa jadi manusia yang paling mampu untuk adil
Hanya jika kita bisa dengan kerendahan hati menerima, berterima, bahwasanya kita manusia pada hakekatnya memiliki kelemahan, kekurangan, ketidak-mampuan untuk adil itulah maka kita akan bisa berusaha berlaku adil sejak dalam pikiran kita, walaupun realisasinya memang tidak akan sepenuhnya bisa mewujud dalam kenyataan oleh karena alasan yang disebutkan di atas tadi: yang bisa menilai diri kita adil atau tidak adil bukan diri kita sendiri. Terima kenyataan itu, jangan mendustakan–atau berdusta sejak dalam pikiran–kenyataan itu. Jangan sombong.
Great real Ferguso, Hadapi kenyataan itu.
Wacana ini ditulis oleh Didi Sugandi, mentor inovasi nasional.