Kasus Kekerasan Antar Pelajar di Pesisir Barat, Menteri PPPA: Perundungan Berbahaya bagi Anak Korban maupun Anak Pelaku

lampungkita.id Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi menyampaikan duka cita mendalam atas meninggalnya seorang siswa berusia 13 tahun akibat kasus perundungan antar pelajar di SMP Negeri 12 Krui, Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung. Menteri PPPA menegaskan, penanganan kasus ini harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip perlindungan anak dan keadilan restoratif, mengingat pelaku masih berusia anak.

“Kami menyampaikan duka yang mendalam atas peristiwa ini. Anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) telah diamankan oleh pihak kepolisian dan selama menjalani proses penyidikan AKH akan dalam perlindungan UPTD PPA Kabupaten Pesisir Barat. Untuk sementara, anak tersebut ditempatkan di Rumah Penampungan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Pesisir Barat agar tetap mendapatkan perlindungan dan pendampingan yang sesuai amanat perundang-undangan,” ujar Menteri PPPA.

Kemen PPPA melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Pesisir Barat bersama DP3AKB setempat dan UPTD PPA Provinsi Lampung terus berkoordinasi dengan pihak kepolisian, sekolah, serta aparat desa. Koordinasi ini dilakukan untuk memastikan seluruh proses hukum sesuai dengan ketentuan Sistem Peradilan Pidana Anak dan perlu memastikan perlindungan dan memberikan layanan terhadap AKH berjalan sesuai kebutuhan. UPTD juga memfasilitasi agar pelaku tetap dapat hak dasar untuk tetap mendapatkan hak untuk belajar selama berada di rumah aman termasuk untuk dapat mengikuti ulangan.

“UPTD PPA Kabupaten Pesisir Barat telah melakukan berbagai langkah cepat dalam penanganan kasus ini. Layanan yang diberikan meliputi penerimaan pengaduan, pendampingan saat medikolegal dan pemeriksaan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), serta penguatan psikologis baik bagi AKH maupun keluarga korban. Selain itu, UPTD juga melakukan koordinasi intensif dengan pihak sekolah dan aparat di wilayah desa untuk memastikan pemulihan berjalan sesuai prinsip perlindungan anak,” kata Menteri PPPA.

Secara hukum, AKH diduga telah melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan anak meninggal dunia dapat di jerat pasal 80 Ayat (3) jo. 76C UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). AKH juga dapat dikenakan pasal 351 ayat (3) KUHP terkait tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan mati diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Mengingat masih berusia Anak untuk proses hukumnya wajib mempedomani UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan PP Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (dua belas) Tahun.

“Saat ini, UPTD PPA Kabupaten Pesisir Barat terus melakukan pendampingan hukum terhadap pelaku anak serta berkoordinasi dengan kepolisian dalam proses penyidikan dimana diperoleh informasi bahwa saat ini AKH dikenakan pasal 340 KUHP terkait pembunuhan berencana. UPTD telah menyampaikan masukan kepada penyidik agar pemeriksaan disertai pelaksanaan psikologi forensik sebagai bagian dari keperluan proses hukum. Apabila fasilitas tersebut belum tersedia di Provinsi Lampung, KemenPPPA siap memberikan dukungan teknis agar asesmen tetap dapat dilaksanakan,” kata Menteri PPPA.

Menteri PPPA menyampaikan kasus ini menjadi refleksi penting bahwa kekerasan di sekolah adalah persoalan serius yang harus dicegah bersama. Pemerintah daerah, pihak sekolah, dan keluarga harus memperkuat pendidikan karakter serta membangun budaya tanpa kekerasan di lingkungan pendidikan. Setiap satuan pendidikan juga diharapkan memiliki Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (TPPK) selaras dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023.

Peraturan tersebut juga menegaskan bahwa pemeriksaan hingga langkah-langkah pemulihan perlu diupayakan dalam merespon kasus kekerasan, termasuk di antaranya perundungan. Pendampingan perlu diberikan baik kepada korban, saksi, maupun terlapor atau pelaku perundungan yang berusia anak. Pendampingan bagi korban dapat mencakup penyediaan layanan kesehatan dan layanan konseling untuk meminimalkan dampak perundungan. Selain itu, perlu adanya tindakan korektif dan edukatif yang terukur bagi pelaku untuk mencegah residivisme.

“Seluruh pihak di sekolah juga wajib ikut serta dalam menciptakan iklim sekolah yang kondusif sehingga kasus perundungan tidak kembali terulang. Hal ini termasuk menghapus paradigma maupun praktik disiplin dengan kekerasan serta toleransi terhadap tindak kekerasan (bystander) di lingkungan sekolah. Belajar dari kasus ini, diperlukan langkah mitigasi dengan pendampingan psikologis pada korban dan pelaku perundungan yang berpontensi kekerasan, sehingga peristiwa tragis ini mampu dicegah. Resiliensi anak korban diperkuat dan masalah anak pelaku perundungan dapat diurai untuk menumbuhkan harmoni dan rasa aman di sekolah. ” tambah Menteri PPPA.

Menteri PPPA juga mengimbau masyarakat untuk tidak ragu melaporkan bila mengalami, melihat, atau mengetahui kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Laporan dapat disampaikan melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau WhatsApp 08111-129-129. (*)